Selamat datang di edisi pertama Selebaran!
Newsletter dari Ruang ini kami buat khusus untuk menyapa teman-teman langsung di kotak surat masing-masing. Supaya bahasan seni, budaya, dan apa pun di antaranya jadi lebih dekat dan hangat.
Tepat setahun lalu, Ruang tutup pintu. Beberapa teman menanyakan soal berhentinya aktivitas kami, tapi jujur, tidak mudah menjawabnya. Bagaimana tidak? Banyak rencana yang terpaksa kami kandangkan.
Sebagian dari kalian mungkin sudah mengantongi beberapa tebakan kenapa Ruang bubar jalan. Beberapa dari kami saat itu juga sudah cukup sinis berpikir bahwa perusahaan tak akan terus-terusan membiarkan media yang tak punya minat turut menumpuk kapital ini mempublikasikan tulisan-tulisan soal seksisme di scene musik lokal, koran kiri nasionalis terbesar pada zamannnya, dan bagaimana film-film Islam menggambarkan perempuan.
Dalam logika pasar, arahan redaksi Ruang saat itu adalah suatu rencana bunuh diri, yang apabila ditengok kembali, bisa dibilang sukses besar. Anggaran kami dipangkas habis dan beberapa dari kami dimutasi ke departemen lain. Lainnya terpaksa hengkang.
Namun, atas bantuan dari salah seorang kawan dari SINDIKASI, kami berhasil mendapatkan hak asuh atas nama Ruang dan seluruh konten yang pernah kami terbitkan.
Ah, sungguh suatu kemenangan kecil yang menyenangkan.
Sayang sekali, kegembiraan kami tak bertahan lama. Akibat pemutusan hubungan kerja itu, beberapa dari kami mesti bekerja serabutan demi menyambung hidup. Semangat untuk mengelola Ruang secara mandiri pun perlahan sirna dikikis tagihan dan lembur-lembur tak berujung.
Ruang pun mati suri. Kami terus berjalan walau tak tentu arah. Setidaknya sampai bulan lalu.
Seorang kawan dari kolektif Noisewhore menghubungi salah seorang di antara kami dan dimulailah omelan panjang tentang lanskap ekosistem media yang toksik. Kami pun sampai pada satu kesepakatan: untuk bertahan hidup tanpa menjadi benalu, media harus bertanggung jawab langsung kepada publik dan komunitas. Media juga harus berani bersikap tanpa disetir oleh ke mana modal bertiup. Kami juga sepakat, kemerdekaan macam itu hanya bisa diperoleh kalau media sepenuhnya dikelola langsung oleh para pekerjanya.
Otonom dan berdaulat tanpa bos.
Tentu, hampir tiap orang bisa menulis. Tapi bikin tulisan yang terus-menerus segar, bisa dipertanggungjawabkan, dan tidak disesaki pesan sponsor? Tidak segampang itu.
Ada banyak kerja yang membentuk sebuah tulisan sampai terbaca di layar. Tim keredaksian butuh dana untuk riset, membeli alat produksi, dan membayar semua yang urun tenaga untuk memproduksi tulisan tersebut.
Kesadaran tersebut meniupkan semangat baru buat pengelolaan Ruang. Kami pun membangun kembali website kami dari nol. Kami mulai merancang beberapa model pengelolaan baru yang banyak meminjam konsep dari koperasi. Hasilnya adalah apa yang kalian baca sekarang ini: media seni dan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang bersama komunitas.
Kami menyadari, model yang kami rancang ini tidak akan pernah sempurna. “Sempurna itu hanya sebuah rencana,” kalau kata Semakbelukar. Untuk mencapai otonomi, kami harus terus-terusan mempreteli dan membangun model ini sampai menemukan bentuk yang pas dan adaptif untuk berkembang bersama komunitas.
Kami ingin membangun suatu model yang lebih tahan lama dan mandiri. Nah, di situlah kami butuh bantuan kalian.
Kalian semua bisa membantu kami patungan membiayai kerja Ruang lewat Saweria. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Gotong royong, kalau kata leluhur-leluhur kita.
Menjadi otonom juga bukan berarti berdiri sendiri dalam ruang hampa. Sebagai media, Ruang bertanggung jawab langsung terhadap publik. Kami memang tak peduli terhadap klik, namun kami hidup dari, oleh, dan untuk pembacanya. Pendapat kalian penting buat kami.
Apa sih yang ingin kalian baca? Langsung saja colek kami di Twitter dan oper pendapatmu. Kotak surat kami juga selalu terbuka kalau kalian ingin berpanjang kata.
REKOMENDASI LIAR
…For The Whole World To See - Death
Death adalah trio kakak-beradik berkulit hitam asal Detroit yang digadang-gadang sebagai pionir punk rock. Trio yang terbentuk pada tahun 1971 ini awalnya memainkan funk. Mereka banting setir memainkan musik rock yang lebih agresif setelah menonton konser The Who.
Pada zamannya sih, Death kurang laku. Tapi kalau didengar lagi sekarang, musik yang mereka mainkan bisa dibilang lumayan mendahului zamannya.
Kalian bisa menonton kiprah mereka lewat A Band Called Death, film dokumenter yang dirilis tahun 2012.
Sorry To Bother You - Boots Riley
Cassius, seorang telemarketer berkulit hitam berhasil menemukan kunci kesuksesan: suara bule. Awalnya film ini adalah cerita komedi tentang kelas pekerja yang patuh pada formula, tapi semakin mendekati akhir kalian akan dipaksa memikirkan ulang anggapan barusan.
Film yang rilis tahun 2018 ini tak pernah luput saya rekomendasikan buat siapa pun yang penasaran tentang kelindan antara rasisme dan kapitalisme.
Palestine + 100 - Comma Press
Kumpulan cerpen ini premisnya menarik banget. Comma Press mengumpulkan dua belas penulis Palestina dan meminta mereka membayangkan: seperti apa sih negara mereka 100 tahun setelah Nakba? Bagaimana peristiwa yang membuat rakyat Palestina kehilangan tanah airnya tersebut membentuk masa depan mereka?
—Tomo dan Fani
Jika kamu menikmati Selebaran kami, wartakan kami ke tongkronganmu!