Melambat di Tengah Ledakan
Di tengah informasi yang berdesakan dan sulit dikejar ini, mungkin memang tak ada yang perlu dikejar?
Ketika informasi menepi instan dan cepat terbawa arus kembali, kita kewalahan untuk memilah mana yang mesti ditampung dan diacuhkan. “Selamat datang di era banjir informasi!” sebenarnya bukan salam yang baru bisa diucapkan hari ini saja. Ledakan informasi sudah dimulai sejak perangkat digital dan internet terimplan di tangan-tangan kita, hmm... sekitar akhir dekade 2000? Maka dalam konteks urban, banyak yang kita lakukan selalu didefinisikan bersama hiperkonektivitas—ketika kita menerima email, diserbu notifikasi WhatsApp, dan sibuk mencatat poin-poin penting dari sebuah rapat daring yang sedang kita hadiri pada saat bersamaan.
Lalu, bagaimana ledakan informasi dan hiperkonektivitas mempengaruhi kita di kala pandemi ini? Sebagian besar dari kita pun gosong dibanjur informasi setiap harinya. Yang penting jadi kabur karena berjubel bersama yang kurang penting—walau mungkin lebih menghibur. Utas-utas webinar berjejalan di linimasa. Lingkaran-lingkaran Instagram Live pun berderet minta ditonton, bersaing dengan attention span kita yang makin bersaing dengan ikan mas koki.
Mungkin ini saat yang paling tepat untuk melambat dan tertinggal. Lagipula, apa yang mau kita kejar di kala vaksin diperkirakan ahli baru akan siap tahun depan. Bahkan sebelum pandemik pun, kita tak pernah benar-benar butuh mengejar informasi seekspres itu dan terkoneksi sehiper itu.
Melambat sebentar dan baca artikel dengan santai tanpa takut ketinggalan artikel-artikel lainnya. Atau, tonton ulang film-film lama kesukaanmu tanpa takut luput judul terbaru Netflix atau Prime—film setan lokal, mungkin? Juga sesekali lewatkan Release Radar yang disodorkan Spotify, mundurkan sedikit kesenangan auralmu.
REKOMENDASI LIAR
📖 The Dispossessed - Ursula K. Le Guin
Asupan nutrisi buat imajinasi politik kita di tengah isolasi. Cerita ini mengambil latar di Planet Anarres yang dikisahkan terisolasi dari dunia-dunia lainnya, dan karenanya tak sengaja mengembangkan peradabannya sendiri. Menariknya, peradaban yang mereka kembangkan memiliki tatanan kehidupan sosial yang jauh lebih progresif daripada peradaban kita. Fiksi ilmiah satu ini lebih banyak bermain pada tataran kehidupan sosial alih-alih berfokus melulu pada teknologi dan hal-hal teknis lainnya layaknya kebanyakan cerita fiksi ilmiah. Bayangkan: dunia tanpa peran gender! (Tomo, Farhanah)
🎬 I May Destroy You - Michaela Coel
Sekilas, seperti tak ada yang berubah di hidupmu sehari setelah kamu diperkosa dalam keadaan setengah tak sadar: kamu tetap ditagih deadline tulisan, tagihan apartemen tetap di depan mata, teman-temanmu tetap mengajakmu joget di klub malam. Serial HBO I May Destroy You memperlihatkan bagaimana penyintas kekerasan seksual Arabella (Michaela Coel) seperti sedang berdiri di atas seutas tali: kamu bisa lanjut berjalan, tapi satu kelengahan bisa membuatmu terjun ke jurang. Trigger Warning: serial ini banyak menggambarkan bentuk-bentuk kekerasan seksual. (Permata Adinda, Editor Kanal Film)
🎧 “Birds of Fire” - Mahavishnu Orchestra
Dulu saya tak begitu suka jazz fusion. Buat saya, musiknya terlalu canggung, agak terlalu putih, kelewat orientalis. Baru belakangan ini saya memutuskan untuk mendengarkan dengan saksama salah satu punggawa subgenre ini: Mahavishnu Orchestra. Apa yang saya dengar sukses membuat saya terhenyak. Apa yang saya temukan: birama yang tak biasa, tangga nada yang sulit saya petakan, dan permainan drum yang tak akan canggung apabila diletakkan dalam sebuah lagu mathcore. Sepertinya, saya akan menghabiskan waktu cukup lama untuk menyelami diskografi mereka. (Tomo)
Penulis: Farhanah, Editor: Tomo Hartono