Dalam Selebaran perdana lalu, kami sempat membahas tentang komitmen terhadap penerapan swakelola.
Lalu, bagaimana praksisnya?
Tiap orang adalah manajer bagi dirinya sendiri
Sehari-hari, kami menggunakan perkakas manajemen proyek, seperti Trello atau Notion, untuk mencatat apa saja yang sedang kami kerjakan. Berikut kurang-lebih tampilannya.
Begini cara kerjanya: tiap orang melaporkan ke Trello apa saja yang akan ia kerjakan bulan itu, sumber daya yang dibutuhkan, dan tenggat waktu yang ia tentukan sendiri. Secara otomatis, Trello akan mengirim pengingat berdasarkan tenggat waktu yang telah masing-masing dari kami tentukan.
Bagaimana dengan bayarannya?
Pekerja Ruang dan publik dapat melihat berapa sumber daya yang Ruang miliki. Berdasarkan laporan tersebut, para pekerja di Ruang menentukan sendiri berapa bayaran yang mereka terima. Sistem ini kami terapkan karena kami percaya: yang berhak atas nilai lebih dari suatu produk ya pekerjanya itu sendiri. Belum ideal, memang, tapi lumayan lah ya buat batu lompatan biar kita bisa mulai membebaskan diri kita dari eksploitasi orang-orang kaya itu.
Pemasukan
Sampai saat ini, kami tidak berminat atau pun berencana untuk menjual ruang iklan. Meskipun ke depannya, kami akan menerima kerja sama pengembangan konten bersama inisiatif-inisiatif yang memiliki keselarasan visi dengan kami.
Kami kini mempunyai dua sumber pemasukan: patungan dan tongkrongan. Penggalangan dana patungan kami lakukan lewat Kitabisa. Di sana kalian bisa ikut patungan mendanai kerja Ruang tanpa terlibat langsung dalam kerja kami sehari-hari. Bagaimana kalau kalian berminat untuk ikut urun suara dalam proses produksi konten-konten Ruang? Kalian bisa ikut bergabung di tongkrongan Ruang sebagai orang dalam. Rincian lebih lanjut dapat kalian baca di laman Karyakarsa kami.
Akuntabilitas
Buat kami, penerapan swakelola adalah proses yang berlangsung terus-menerus. Butuh banyak pembelajaran dan evaluasi yang perlu kami lakukan untuk membuat alur kerja yang nyaman dan efektif buat semua pekerja. Oleh karena itulah, secara berkala diadakan evaluasi kerja sebagai bagian dari akuntabilitas: pekerjaan apa saja yang selesai, apa yang tidak, apakah ada masalah dalam proses pengerjaannya, dan bagaimana cara mengatasinya?
Membayangkan ulang masa depan
Otomatisasi mampu membuat peran bos tak begitu diperlukan lagi dan kerja menjadi makin ringan. Namun, masih ada juga beberapa orang culas yang justru memanfaatkan teknologi untuk semakin mencekik kita.
Teknologi tidak pernah netral. Ia harus direbut dan dibayangkan ulang. Bisa jadi, beberapa tahun lagi kita sudah benar-benar tidak butuh mandor karena tiap orang sudah menjadi bos atas dirinya sendiri.
Otonomi: 1
Bos: 0
Atau mungkin, kita justru bisa membayangkan dunia di mana kita tidak lagi butuh bekerja untuk sekedar menyambung nyawa?
REKOMENDASI LIAR
🎬 Humba Dreams - Riri Riza
Martin yang sedang kuliah di Jakarta diminta ibunya pulang kampung ke Sumba untuk mengurus warisan dari ayahnya: gulungan film seluloid 16mm yang belum dicuci dan dicetak. Ada dua masalah besar buat Martin. Pertama: ia tak akrab dengan format film analog. Kedua: tak segalanya tersedia di Waingapu, Humba Timur, yang jaraknya 2,012 kilometer dari Jakarta.
Kalian bisa membaca ulasan Eric Sasono atas “Humba Dreams” di Ruang.
🎧 Stranger Fruit - Zeal and Ardor
Amerika Serikat dibangun di atas perbudakan. Banyak budak yang menemukan perlindungan dalam basuhan kasih Tuhan. Namun, bagaimana kalau di masa-masa berat itu yang mereka temukan justru Iblis?
Zeal and Ardor adalah proyek musik yang menggambarkan sejarah-alternatif itu. Begini asal-usulnya: suatu hari seorang rasis menantang Manuel Gagneux untuk memadukan black metal dengan musik spiritual Afrika-Amerika. Manuel pun mulai menulis beberapa lagu sebagai lelucon. Tak disangka, ternyata lagu yang dia tulis menarik perhatian warga internet. Sisanya adalah sejarah.
📖 The Decameron Project - NY Times
Berhari-hari tidak keluar rumah membuat saya nyaris melupakan serentetan kiamat mini di luar sana. Suatu malam, kawan saya mengirimkan tautan menuju sebuah proyek menarik yang digagas oleh NY Times: The Decameron Project.
Proyek ini mengundang penulis-penulis seperti Margaret Atwood, Edgar Keret, dan Alejandro Zambra untuk menulis beberapa cerpen yang terinspirasi oleh pandemi terkutuk ini.
Terima kasih, Misyel, sekarang tidur saya kembali tidak nyenyak.
Suka dengan Selebaran kami? Wartakan kami ke tongkronganmu!
Penulis: Tomo Hartono
Editor: Farhanah